Jumat, 05 Maret 2021

Model Waterfall(Tugas pertemuan 4)

Nama:Bayu cahyadi

Kelas:TK 19 A

Npm:19316085

Sejarah Model Waterfall

Penggunaan metode waterfall pertama kali diperkenalkan oleh Herbert D. Benington di Symposium on Advanced Programming Method for Digital Computers pada tanggal 29 Juni 1956. Presentasi tersebut menjelaskan tentang pengembangan perangkat lunak untuk SAGE (Semi Automatic Ground Environment). Pada tahun 1983, dipresentasikan kembali oleh Benington dan menjelaskan tentang fase – fase dalam proses pengembangannya. Dan pada tahun 1985, Departemen Pertahanan Amerika Serikat juga menggunakan metode ini dengan beberapa tahapan yang digunakan, terdiri dari 6 fase, yaitu: Preliminary design, Detailed design, Coding and unit testing, Integration, dan Testing.

Tahapan Model Waterfall Setelah mengetahui apa itu metode waterfall, selanjutnya masuk pada pembahasan mengenai tahapan metode waterfall.

1. Requirement

Tahapan metode waterfall yang pertama adalah mempersiapkan dan menganalisa kebutuhan dari software yang akan dikerjakan. Informasi dan insight yang diperoleh dapat berupa dari hasil wawancara, survei, studi literatur, observasi, hingga diskusi. Biasanya di dalam sebuah perusahaan, tim analis akan menggali informasi sebanyak – banyaknya dari klien atau user yang menginginkan produk beserta dengan kebutuhan sistemnya. Selain itu, juga dapat mengetahui setiap batasan dari perangkat lunak yang akan dibuat.

2. Design

Tahap yang selanjutnya adalah pembuatan desain aplikasi sebelum masuk pada proses coding. Tujuan dari tahap ini, supaya mempunyai gambaran jelas mengenai tampilan dan antarmuka software yang kemudian akan dieksekusi oleh tim programmer. Untuk proses ini, akan berfokus pada pembangunan struktur data, arsitektur software, perancangan interface, hingga perancangan fungsi internal dan eksternal dari setiap algoritma prosedural. Tim yang mengerjakan tahap ini, biasanya lebih banyak menggunakan UI/UX Designer, atau orang yang memiliki kemampuan dalam bidang desain grafis atau Web Designer.

3. Implementation

Tahapan metode waterfall yang berikutnya adalah implementasi kode program dengan menggunakan berbagai tools dan bahasa pemrograman sesuai dengan kebutuhan tim dan perusahaan. Jadi, pada tahap implementasi ini lebih berfokus pada hal teknis, dimana hasil dari desain perangkat lunak akan diterjemahkan ke dalam bahasa pemrograman melalui tim programmer atau developer. Di dalam tahap pengembangan, biasanya dibagi lagi menjadi 3 tim yang memiliki tugas yang berbeda. Pertama ada front end (untuk client side), backend (untuk server side), dan full stack (gabungan antara front end dan backend). Selain itu, pada tahap ini juga dilakukan pemeriksaan lebih dalam terkait dengan modul yang sudah dibuat, apakah berjalan dengan semestinya atau tidak.

4. Integration & Testing

Tahap yang keempat, masuk dalam proses integrasi dan pengujian sistem. Pada tahap ini, akan dilakukan penggabungan modul yang sudah dibuat pada tahap sebelumnya. Setelah proses integrasi sistem telah selesai, berikutnya masuk pada pengujian modul. Yang bertujuan untuk mengetahui apakah perangkat lunak sudah sesuai dengan desain, dan fungsionalitas dari aplikasi apakah berjalan dengan baik atau tidak. Jadi, dengan adanya tahap pengujian, maka dapat mencegah terjadinya kesalahan, bug, atau error pada program sebelum masuk pada tahap produksi. Orang yang bertanggung jawab untuk melakukan testing adalah QA (Quality Assurance) dan QC (Quality Control).

5. Operation & Maintenance

Tahapan metode waterfall yang terakhir adalah pengoperasian dan perbaikan dari aplikasi. Setelah dilakukan pengujian sistem, maka akan masuk pada tahap produk dan pemakaian perangkat lunak oleh pengguna (user). Untuk proses pemeliharaan, memungkinkan pengembang untuk melakukan perbaikan terhadap kesalahan yang ditemukan pada aplikasi setelah digunakan oleh user. Jadi, pada intinya model waterfall ini dalam proses pemakaiannya mengikuti prinsip dari air terjun. Dimana setiap pekerjaan akan dilakukan secara berurutan mulai dari atas hingga ke bawah. Hal tersebut yang merupakan karakteristik dari SDLC ini.

Kelebihan Metode Waterfall

Berikut ini merupakan beberapa kelebihan yang dimiliki oleh metode waterfall, antara lain:

1. Workflow yang jelas

Dengan menggunakan model SDLC jenis ini, mempunyai rangkaian alur kerja sistem yang jelas dan terukur. Masing – masing tim, memiliki tugas dan tanggung jawab sesuai dengan bidang keahliannya. Serta dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan sebelumnya.

2. Hasil dokumentasi yang baik

Waterfall merupakan pendekatan yang sangat metodis, dimana setiap informasi akan tercatat dengan baik dan terdistribusi kepada setiap anggota tim secara cepat dan akurat. Dengan adanya dokumen, maka pekerjaan dari setiap tim akan menjadi lebih mudah, serta mengikuti setiap arahan dari dokumen tersebut.

3. Dapat menghemat biaya

Kelebihan yang selanjutnya tentu saja dari segi resource dan biaya yang dikeluarkan oleh suatu perusahaan dengan menggunakan model ini. Jadi, dalam hal ini klien tidak dapat mencampuri urusan dari tim pengembang aplikasi. Sehingga pengeluaran biaya menjadi lebih sedikit. Berbeda dengan metode Agile, yang mana klien dapat memberikan masukan dan feedback kepada tim developer terkait dengan perubahan atau penambahan beberapa fitur. Sehingga perusahaan akan mengeluarkan biaya yang lebih besar daripada Waterfall.

4. Digunakan untuk pengembangan software berskala besar

Metode ini dinilai sangat cocok untuk menjalankan pembuatan aplikasi berskala besar yang melibatkan banyak sumber daya manusia dan prosedur kerja yang kompleks. Akan tetapi, Model ini juga dapat digunakan untuk proyek berskala kecil dan menengah. Tentu saja disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan proyek yang diambil.

Kelemahan dari Metode Waterfall

Berikut ini terdapat beberapa kelemahan dari metode waterfall, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Membutuhkan tim yang solid

Untuk menggunakan model SDLC ini, tentu saja membutuhkan dukungan dari setiap stakeholders yang ada. Setiap tim harus mempunyai kerja sama dan koordinasi yang baik. Dikarenakan, apabila salah satu tim tidak dapat menjalankan tugas dengan semestinya, maka akan sangat berpengaruh terhadap alur kerja tim yang lain.

2. Masih kurangnya fleksibilitas

Semua tim dituntut untuk bekerja sesuai dengan arahan dan petunjuk yang telah ditetapkan di awal. Sehingga, klien tidak dapat mengeluarkan pendapat dan feedback kepada tim pengembang. Klien hanya dapat memberikan masukan pada tahap awal perancangan sistem perangkat lunak saja.

3. Tidak dapat melihat gambaran sistem dengan jelas

Dengan model waterfall, customer tidak dapat melihat gambaran sistem secara jelas. Berbeda dengan model agile yang dapat terlihat dengan baik meskipun masih dalam proses pengembangan.

4. Membutuhkan waktu yang lebih lama

Proses pengerjaan dengan menggunakan waterfall terbilang cukup lama jika dibandingkan dengan model SDLC yang lain. Karena, tahapan pengerjaan aplikasi yang dilakukan satu per satu membuat waktu yang dibutuhkan menjadi lebih lama. Sebagai contoh, tim developer tidak akan bisa melakukan proses coding jika tim designer belum menampilkan tampilan desain dari aplikasi.

Contoh studi kasus:

Sulitnya petugas bagian administrasi dalam mengolah data perpustakaan yang mengakomodasi peminjaman, buku, pengembalian dan membuat laporan yang membutuhkan banyak waktu. Adapun tujuan dari model sistem ini adalah memodelkan sebuah sistem informasi Perpustakaan yang berbasis komputer dengan menggunakan metode waterfall dan sistem informasi perpustakaan ini, untuk membantu petugas dalam menghadapi kendala yang dihadapi dalam melakukan transaksi, sehingga dengan adanya sistem informasi tersebut diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan yang berhubungan dengan Perpustakaan.

Sekian Dan Terimakasih

1 komentar:

Riview artikel tentang Block Cipher

 Nama:Bayu cahyadi   Npm 19316085 #permasalahan block cipher melakukan penelitian tentang perancangan  Kriptografi Block Cipher dalam sebuah...